Dari sumber kompas.com
Hewan itu nyaris punah karena tinggal sekitar 2.000 ekor. Tak heran jika Indonesia berjuang keras agar komodo masuk dalam ”The New 7 Wonders of Nature”, cek http://www.new7wonders.com.
Setelah terbang dengan pesawat kecil dari Bandara Ngurah Rai, Bali, selama satu jam, kita mendarat di Bandara Komodo, Labuhan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT. Labuhan Bajo, kota kecil di ujung barat Pulau Flores, adalah titik awal menuju Pulau Rinca dan Komodo.
Pelabuhan Labuhan Bajo terbilang kecil. Dengan menumpang kapal cepat dan terkatung-katung di tengah laut Flores selama 40 menit, melewati pulau-pulau kecil yang tandus dan gersang, kita sampai di Pulau Komodo.
Pintu masuk Pulau Komodo berada di Loh Liang. Di sini, seorang turis asing ditegur Kepala Taman Nasional Komodo, Tamen Sitorus, ”Please, jangan kotori Pulau Komodo.” Pasalnya, turis itu nekat mau menyalakan rokok dengan korek api. Bisa jadi dia belum tahu peraturan di Komodo.
Alasan Tamen Sitorus, Taman Nasional Komodo didominasi padang savana dengan pepohonan yang kering meranggas sehingga dengan mudah akan terbakar. Padahal, Taman Nasional Komodo ini aset nasional dan ditetapkan sebagai Situs Warisan Alam Dunia dan Cagar Biosfir oleh UNESCO.
Dari Loh Liang, kita harus didampingi seorang ranger atau penjaga hutan. Berbahaya jika kita berjalan sendiri karena tak mengenal medan dan tak tahu bagaimana komodo bergerak.
”Dulu, ada turis asing berkeliling dalam satu rombongan, tetapi ternyata seorang turis terpisah. Kami cari ke mana-mana, baru besoknya ditemukan gumpalan rambut dan kameranya saja,” tutur ranger Yusuf Jenata Hamzah yang sudah menjadi ranger selama 26 tahun menggambarkan ganasnya komodo.
Turis sering menyebut Taman Nasional Komodo sebagai ”dunia lain” atau ”dunia tersendiri”. Sebab, situasi alam di Taman Nasional ini berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain. Selain menjadi tempat hunian komodo, spesies kadal terbesar di dunia berukuran panjang 2-3 meter.
Taman Nasional ini didominasi padang savana luas dengan pohon lontar berukuran raksasa. Sumber air di Taman Nasional terbatas, juga berudara panas.
Buat yang suka trekking, di posko ada petanya. Jadi, kita bisa membayangkan perjalanannya. Ada trekking jarak pendek 2 km, jarak menengah 4-5 km, dan jarak panjang 8-10 km. Kami memilih trek 2 km di Pulau Komodo dan 8 km di Pulau Rinca esok harinya.
Jadilah kulit langsung ”gosong” saking panasnya, bahkan pernah ada turis asing yang pingsan karena dehidrasi. Tetapi, begitu sampai puncak savana, rasa capek terbayar karena kita bisa melihat garis pantai dan laut yang biru di kejauhan. Kalau mau trekking, gunakan sunblock dan bawa bekal air yang cukup biar enggak pingsan kepanasan.
Trekking di sini asyik, selain menyusuri hutan kering, kita bisa ketemu beberapa komodo. Tetapi, kita harus waspada sebab komodo suka ”pura-pura” jadi kayu atau dahan pohon yang kering coklat sambil sembunyi di rumput ilalang kuning yang tinggi.
Komodo enggak punya indra pendengar meski punya lubang telinga. Hebatnya, komodo bisa melihat hingga 300 meter. Maka, hati-hatilah karena dia bisa melihat kita saat berjalan melintas di depannya. Komodo juga bisa bergerak cepat, bahkan naik ke atas pohon. Kuncinya, jangan ganggu dia di habitatnya.
Komodo di Pulau Komodo dan Rinca dibiarkan tumbuh alami. Mereka lepas di alam bebas, tanpa diberi makan. Mereka harus berusaha mencari makan dengan memangsa binatang apa saja yang dijumpai, seperti kambing dan rusa.
”Dulu, pernah diberi makan ayam atau daging pada jam-jam tertentu, tetapi itu membuat komodo jadi malas bergerak dan tergantung,” kata Yusuf Jenata Hamzah.
Maka, dukunglah komodo agar termasuk dalam Tujuh Keajaiban Dunia Baru. (LOK)